Agus PMTOH, Pendongeng Seribu Pentas



Ratusan orang melihat-lihat karya seni yang dipamerkan dalam ekshibisi JIWA:Jakarta Biennale 2017 di Hall B Gudang Sarinah Ekosistem, Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu sore (12/11/2017).

Ada yang betah berdiam--sesekali mengerutkan dahi atau bertopang dagu--di depan karya seni. Beberapa orang lainnya terpanggil merespons karya-karya yang butuh partisipasi audiens.

Sekitar pukul 16.00 WIB, kebanyakan dari mereka bergegas ke panggung pertunjukan di sisi timur Hall B Gudang Sarinah Ekosistem. Seorang pria berpostur kecil--tak lebih dari 160 sentimeter--tengah bersenandung di atas panggung.

Pria bertubuh kecil dengan mimik karikatural itu bernama Agus Nur Amal, atau lebih terkenal dengan epitel panggung, PM Toh. Ia merupakan seorang penutur hikayat (pendongeng) tradisional Aceh.

Sore itu, Agus mementaskan pertunjukan berjudul Jiwa Laut, yang terinspirasi karya-karya Hamzah Fansuri--sufi dan sastrawan asal Sumatra pada abad 16.

"Kisah ini terjadi di zaman dahulu kala, ketika hewan bisa bicara. Kita mulai kisah ini pada suatu senja, ketika matahari hendak tenggelam," ujarnya membuka pertunjukan, sembari mengangkat penutup ember berwarna merah sebagai metafora matahari.

Agus lalu mengisahkan perjalanan Hamzah Fansuri mencari ikan. Berhari-hari melaut, Hamzah tak berhasil menangkap ikan dan mesti bersemuka badai. Sekali dapat, Hamzah malah beri tangkapannya kepada elang laut yang juga sedang kesulitan mendapat ikan.

Pada pengujung cerita, Hamzah terkejut karena mendapati kerumunan elang laut menantinya di rumah. Elang-elang itu membawa banyak ikan sebagai balas budi.

Cerita itu sederhana, laiknya dongeng yang diakhiri epilog bernada "hidup bahagia selamanya". Namun, penampilan Agus melampaui kesederhanaan itu.

Agus cakap menampilkan seni hikayat Aceh dalam sajian kontemporer. Ia lengkapi ceritanya dengan video--tersaji lewat pantulan sinar proyektor--sebagai latar panggung.

Plus, sebagaimana ciri penampilannya, Agus membawa perkakas sehari-hari melintasi sekat-sekat fungsi dan arti, misal: loyang mandi bayi sebagai perahu; gagang sapu beralih fungsi jadi dayung; penutup ember diibaratkan matahari.

Di tangannya, benda-benda itu bisa merangsang imaji penonton. Anak-anak jadi serius mendengarkan dan sesekali tergelak. Penonton dewasa bisa spontan bertepuk tangan dan tertawa ketika Agus melempar punchline.

"Saya ingin mengembalikan 'Jiwa Laut'. Menurut Hamzah, mereka yang menantang laut adalah orang yang mengembara dalam jiwanya sendiri," kata pria berusia 48 itu saat kami berbincang usai pertunjukan.

Percakapan kami berlangsung dalam satu ruang pertemuan, di Hall A Gudang Sarinah Ekosistem. Sambil mengisap kretek dan merasai kopi tubruk, Agus menceritakan perjalanannya sebagai pendongeng.



Berkuliah di Cikini, berguru di Sigli

Sedari kecil, Agus gemar mendengar hikayat.

Seniman kelahiran Sabang, Aceh ini mengaku berbunga-bunga bila dapat ajakan pergi hajatan ke Aceh Besar--tempat kebanyakan keluarga besarnya tinggal. Kala itu, pertunjukan hikayat memang kerap jadi hiburan dalam hajatan.

Agus kecil juga sudah terlibat dalam teater selama bersekolah di Sabang--sejak SD sampai SMA. Saat tiba masa pendidikan tinggi, Agus ambil studi teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Cikini, Jakarta Pusat.

Niatnya menekuni seni hikayat muncul saat kuliah di IKJ (1988-1990). Saat itu, ia terpanggil kembali ke Aceh, setelah dapat kabar bahwa pelaku seni hikayat kian langka.

Lulus kuliah, ia menuju Sigli--lebih kurang 120 kilometer sebelah timur Banda Aceh--yang jadi tempat bermukim seorang aktor dan seniman hikayat, Teungku Haji Adnan.

Nama terakhir itulah yang menjadi guru bagi Agus, pada 1990-1991. "Saya ikut pertunjukan beliau keliling kampung. Memenuhi panggilan pentas, dari kawinan sampai acara pemerintah," ujarnya.

Bila tak ada pentas, Agus ikut mengurus kebun milik Adnan. Di sela aktivitas itu, ia berlatih menjadi seorang penutur hikayat.

"Kadang, saya disuruh bercerita di bawah pohon kelapa atau bicara dengan batu," kata Agus, mengenang prosesnya berlatih. "Bahkan, pernah disuruh cerita semalam suntuk dengan sabut kelapa."

Epitel PM Toh, yang melekat pada Agus, merupakan warisan Adnan. Nama itu diambil dari Perusahaan Motor Transport Ondernemer Hasan (PM TOH), perusahaan bus trayek Medan-Banda Aceh.

Alkisah, dalam pertunjukannya, Adnan sering meniru bunyi klakson PM TOH--seperti om telolet om pada masa kini. Karena kebiasaan itu, orang-orang memberi julukan PM Toh kepada Adnan.

Julukan itu lantas dipakai murid-murid Adnan sebagai nama panggung, sekaligus penghormatan kepada Sang Guru.

Selain dari Adnan, Agus beroleh inspirasi pertunjukan dari dunia bermain anak-anak.

Anak-anak, kata Agus, kerap berfantasi memainkan benda-benda--misal: sandal dijadikan perahu, mobil, atau motor. "Dari situ, saya berpikir untuk bereksperimen: dari seni hikayat yang bertutur menjadi seni hikayat yang imajinatif," ujar penerima lencana Anugerah Kebudayaan Indonesia 2015 itu.

Dalam dunia teater, menurut Agus, pertunjukannya masuk genre teater objek yang fokus memanfaatkan benda-benda dalam penceritaan.

Agus juga sempat menjadi pemateri dalam konferensi internasional teater objek pertama di Nottingham, Inggris (Desember 2011), yang diselenggarakan Objek Theater Network.

"Tapi dalam khazanah teater Indonesia, saya mungkin tidak diakui," katanya, beriring tawa.



Berhikayat sebagai ibadah

Selama 27 tahun mendongeng, Agus telah mementaskan hampir seribu pertunjukan.

Era 1990-an, di bawah rezim Orde Baru, ia cenderung mengambil tema sosial-politik, misal: Jenderal Puyer Bintang Tujuh, yang menyindir laku korup perwira tinggi militer; Hikayat Polisi dan Bandit, kisah satire perihal batasan moral penegak hukum dan para bandit.

Setelah reformasi, tema ceritanya bergeser. "Sekarang saya banyak membawakan cerita yang jarang diperhatikan orang, mengajak berpikir alternatif. Jiwa Laut yang saya pentaskan di Jakarta Biennale, contohnya," kata Agus.

Saat konflik Aceh, pengujung 1990-an, ia giat mementaskan karya yang menggugah kesadaran atas hak-hak masyarakat sipil. Baginya, konflik Aceh merupakan pertikaian antara orang-orang bersenjata: tentara Indonesia dan milisi Gerakan Aceh Merdeka.

"Di antara orang bersenjata, masyarakat sipil mestinya bisa bersuara, contoh, 'Kalau mau tembak-tembakan tolong jauh-jauh lah dari rumah kami'," katanya.

Kala tsunami menghantam Aceh (Desember 2004), Agus mengambil peran sebagai seniman dengan menampilkan pertunjukan keliling TV Eng Ong ke kamp-kamp pengungsian.

Pertunjukan itu berupa set televisi, yang dipakai untuk memancing audiens bercerita. Proses bercerita itu menjadi bagian dari trauma healing.

"Ini TV ecek-ecek. Pengungsi jadi berani. Saya ingat, seorang ibu yang bercerita, 'Suami saya baru tertembak beberapa pekan, dan tiba-tiba kena tsunami'," kenang Agus.



Tak cuman di dalam negeri, Agus juga tercatat pernah menggelar pentas di luar negeri. mulai dari negeri jiran macam Singapura dan Malaysia, hingga terbang jauh ke Eropa dan Amerika Serikat.

Salah satu pementasan yang berkesan, kata Agus, terjadi di gedung Schaubude, Berlin, Jerman. Mula-mula, Agus melantunkan senandung pembuka pertunjukan, tiba-tiba dari bangku penonton terdengar suara tawa anak kecil.

"Saya ulang, dia merespons. Akhirnya, saya berkolaborasi sama dia: awal, tengah, dan akhir," kata Agus. Ia juga minta penata lampu memberi cahaya pada anak tersebut. Agus kian terkejut karena partner kolaborasinya adalah seorang bayi 7 bulan.

Konon, Si Bayi sudah dengar musik klasik sejak dalam kandungan. Siap pertunjukan, Agus menghampiri ibu bayi itu. Ia meminta izin untuk mencium kaki bayi itu. "Saya bilang pada ibunya, 'Saya seperti Paus yang mencium kaki jemaatnya'," ujar Agus.

Pengalaman tampil di hampir seribu panggung tak lepas dari kebiasaannya menggelar pertunjukan keliling. Sikap itu sesuai kredo pertunjukannya, "Cerita untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja, dan untuk apa saja."

Agus memang tak pilih panggung. Lapangan kampung atau gedung teater taraf internasional, sama belaka di matanya. Bermain di depan orang kampung atau para penikmat seni, tiada beda baginya.

Dalam kacamatanya, berhikayat adalah ibadah. "Saya ingat pesan Teungku Haji Adnan. Seni itu bagian dari ibadah. Menyampaikan cerita adalah menyampaikan kebenaran, sesuatu yang bersifat keilahian," ujarnya.




Source: Agus PMTOH, pendongeng seribu pentas

0 komentar:

Posting Komentar