Mengenal Lebih Dekat Sosok Agus Nur Amal a.k.a PMTOH

Agus Nur Amal. (Foto: Beritagar.id)


Oleh: Hindra Setya Rini*

Sekitar awal bulan Agustus 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu pendongeng yang sudah tak asing lagi namanya di ranah seni pertunjukan Indonesia yaitu PM. TOH. Pria yang lahir dan besar di Aceh 40 tahun silam ini bernama asli Agus Nur Amal. Bang Agus, demikian biasanya beliau disapa, mengajak saya untuk ngobrol di galeri PM. TOH di Jl. Rawasari Selatan I No 6, Jakarta Pusat.

Galeri PM. TOH terkesan “ramai”, penuh dengan beragam properti pentas. Properti berukuran kecil sampai besar tersebar rapi memenuhi dinding ruang tengah yang didesain dengan warna-warna cerah menyala. Galeri ini sekaligus juga adalah rumah kontrakan yang dihuni oleh seniman dari berbagai kalangan: tari, teater, dan musik. Tak heran jika berkunjung ke galeri PM. TOH, kita akan disambut oleh sejumlah penghuni rumah yang ramah dan hangat.

Selama kurang lebih tiga jam PM. TOH bercerita dengan santai ihwal perjalanannya di dunia kesenian dan proses-proses kesenimanannya. Dari ceritanya, selain pentas-pentas story telling yang telah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, Bang Agus juga kerap memberikan workshop untuk anak-anak dan remaja. Menurutnya, pertunjukan solo performance (demikian bang Agus menyebutnya—pen) yang ia lakukan tidak dikhususkan untuk kalangan usia tertentu—meski dikenal sebagai pendongeng tidak lantas penontonnya melulu anak-anak. Semua kalangan bisa mengapresiasi karyanya; muda-tua, seniman dan bukan seniman, pegawai dan pekerja kantoran. Mereka semua adalah target penonton yang diharapkan dapat mengapresiasi karya pertunjukan PM. TOH.

Berikut ini beberapa kutipan obrolan bersama bang Agus yang menarik disimak sehubungan dengan proses kesenimanan dan pengalamannya memberi workshop:

Tepatnya kapan Bang Agus mulai memilih story teller sebagai profesi?
Sekitar tahun 1991. Sebelumnya kan aku kuliah di jurusan teater IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Setelah itu aku pulang ke Aceh. Di Aceh model pencerita itu banyak sekali. Jadi setelah aku pikir-pikir, ya kenapa aku nggak memilih story telling itu aja, mendongeng itu. Di kampungku sendiri sudah ada tradisi mendongeng. Ya sudah, aku belajar selama setahun di sana, lalu kembali lagi ke Jakarta tahun 92.

Itu awal mula PM. TOH ada, Bang?
Iya. PM. TOH sendiri adalah nama seorang tokoh tradisi yang ada di Aceh. Beliau pendongeng yang aku kagumi dan dengannnya aku ikut keliling kemana-mana, bantu beliau pentas sekaligus belajar juga. Itu kulakukan selama setahun. Nah, namanya kemudian aku pakai untuk nama panggungku. Beliau senang aja dan nggak keberatan. Tentang solo performance, ya itu lebih pada pilihanku untuk tidak berkelompok. Aku berpikir dengan PM. TOH aku lebih efektif, sederhana, dan murah. Aku nggak susah mikir bagaimana harus mengatur hal-hal sebagaimana kalau kita berkelompok. Dengan ini aku bisa pentas keliling sendiri atau berdua dengan Tedi (asisten sekaligus kru PM. TOH), dan hanya bawa properti yang diperlukan. Sederhana menurutku. Gampang aja ke mana-mana dan nggak repot ini-itu.

Ada bedanya nggak sih, Bang, gaya bertuturmu dengan para penutur tradisi di Aceh itu?
Iya, ada. Waktu itu para pencerita di sana nggak pakai properti. Ya bercerita aja. Hanya PM. TOH yang pakai properti, tapi nggak banyak. Jadi aku mengembangkan gaya PM. TOH itu. Aku tambah jenis propertinya. Ya bisa dilihat kan properti yang aku pakai ini, macam-macam. Plastik, kayu, kertas, barang bekas, perkakas dapur, dan lain-lain. Semua aku manfaatin dan bisa aku mainkan jadi matahari, mobil, gunung, laut, ikan hiu, dan lain sebagainya. Nah, soal cengkok yang biasa aku pakai itu, semua pendongeng di Aceh ya begitu. Berlagu. Tapi aku pakai yang paling dekat aja denganku: mengaji.  Ya aku pakailah cengkok mengaji dalam bertuturku.

Waktu itu bagaimana apresiasi para penutur tradisi atas bentuk yang Bang Agus bawakan?
Ya, apresiasinya bagus, mereka sangat mendukung. Sebagai anak muda saat itu, yang tua merasa senang karena seperti ada yang baru nih buat mereka. Dan memang sebelum balik ke Jakarta lagi, aku sempat mengundang mereka untuk kumintai pendapat. Aku juga ingin tau respon mereka. Tanggapan mereka positif, lalu aku mulai berkiprah di Jakarta. Tahun 1992 itu, sambutan di sini (Jakarta—pen) antusias sekali. Mereka—penonton Jakarta—merasa surprise. Mungkin ini bentuk yang segar buat mereka pada saat itu. Belum pernah ada kan sebelumnya? Ya sampai sekarang inilah ceritanya. Begitu…

Bisa cerita tentang proses pembuatan karya, atau workshop-workshop apa aja yang Bang Agus pernah lakukan?
Workshop sering juga. Kadang buat anak-anak, remaja juga pernah; anak SMA di Jakarta, anak-anak paska konflik dan paska gempa di Aceh juga. Tergantung tujuan kita mau ngasih workshop itu untuk apa sih. Barulah kita mulai mencari dari mana untuk memulai. Kalau isunya “panas” kadang butuh beberapa hari untuk bisa sampai pada topik yang akan kita diskusikan. Awalnya pasti aku ajak peserta main-main dulu, adakan permainan-permainan di awal. Lalu baru masuk ke pemetaan lingkungan sosial mereka. Ini perlu karena mereka sendiri harus paham kondisi dan permasalahan yang timbul sebelum sampai pada diskusinya. Dengan memetakan posisi masing-masing itu peserta workshop akan sadar dengan sendirinya dan tau di mana bermulanya persoalan.

Salah satu contohnya, Bang?
Dulu aku punya lembaga yang aku dirikan selama sekitar tiga-empat tahun. Programnya menangani tawuran anak-anak SMA di Jakarta. Ada sekitar 300 sekolah kita masuki. Sekarang sudah selesai proyek itu. Nah, ya seperti yang aku bilang tadi, aku mengajak mereka menggambar peta lingkungan sosial mereka. Tentu aja setelah kita kasih permainan-permainan yang membuat mereka lupa pada fokus tawurannya itu dulu. Caranya, aku minta mereka menggambar letak rumah mereka di dinding kelas. Aku tanya mereka tinggal di mana. Di Manggarai, misalnya. Lalu mereka nempelin gambar rumah mereka tapi jaraknya jauh-jauh. Padahal kan itu lokasinya sempit dan rumah penduduk  berdekatan. Aku tanya lagi ke mereka, kok jauh-jauh letaknya? Mereka komplain karena mereka nggak suka dekat-dekat, bising dan sumpek. Nah, dari situ kita masuk diskusi tentang kondisi pemukiman yang padat, yang menyebabkan nggak ada rasa nyaman pribadi. Hawanya marah, curiga dan merasa ada musuh. Lalu satu kampung dengan yang lain merasa ada musuh. Lalu ketemu di jalan, naik satu bus sekolah yang di dalamnya ada rasa saling curiga. Ya diskusi terus bergulir sampai mereka tau duduk perkaranya. Itu kita datangi tiap sekolah lalu dipertemukan di akhir. Ya nggak mudah juga sih, tapi itu berhasil kita lakukan.

Sama juga seperti yang di Aceh. Workshop buat anak paska konflik itu ya sama metode yang aku berikan. Intinya, aku selalu mengajak mereka menggambar situasi sosial mereka dulu sebelum masuk ke isu yang mau dibahas. Lalu terakhir kita memetakan bersama persoalannya, juga solusinya. Dan biasanya di hari-hari terakhir baru cerita-cerita personal biasanya muncul. Terserah kita cerita-cerita mau dibawa ke mana, bisa ke bentuk presentasi tertentu jika memang dibutuhkan. Kemudian anak-anak itu bisa mengekspresikan diri mereka ke hal yang positif. Sebelumnya kan mereka mungkin nggak tau caranya mengeluarkan emosi-emosi mereka itu. Ini salah satu cara aja yang bisa membantu mereka keluar dari situasinya.

Kalau yang proses pertunjukan, Bang?
Oh, ya, masih di Aceh juga nih ceritanya. Paska konflik dan bencana dulu itu, kita bikin pertunjukan keliling. Namanya P.TV. Ini pentas keliling pakai truk mini. Itu kan konsepnya tv, tv main-main, jadi membawa imajinasi orang. Pada tontonan itu seolah-olah kita berada dalam studiolah. Ada reporternya, penyiar tv,  ada acara juga di dalam. Yang main anak-anak kampong yang kita kunjungi. Ada yang main tinju, macam-macamlah. Kita buat aja urutan acaranya. Yang pertama misalnya berita kampung. Terserah mereka mau nulis, terus dibacain. Lalu itu memancing orang-orang untuk rela masuk ke tv. Biasanya ibu-ibu yang mau masuk ke dalam. Kalau di panggung belum tentu orang rela untuk ikut main. Jadi dengan tv ada kesadaran orang untuk main-main. Kalau istrinya masuk, suaminya gak malu. Rela gitu… beda kalau dibuat panggung beneran, mereka malah nggak mau main. Di Aceh, ini cukup berhasil membuat mereka mengungkapkan problem-problem yang terjadi paska konflik. Bahkan interaksi sesama masyarakatnya berlangsung baik. Padahal ini isu yang sensitif namun berhasil diungkap dengan cair dan komunikatif.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 11, Januari-Mei 2010)



Profil Singkat PMTOH

Nama lengkap: Agus NurAmal.

Lahir di Sabang/Aceh 17 Agustus 1969.

Jalan kaki hobiku, ikan tongkol sembelado makanan kesukaanku. Film favorit: Gone with The Wind. Pengalaman paling mengesankan waktu  lagi e-ek di bandara Zurich, dipanggil namaku lewat information center tapi namanya lagi e ek ya aku cuekin. Akhirnya aku lari ke pesawat dan hanya aku seorang yang ditunggu. He he…

Tokoh seniman yang kukagumi namanya Udin Pelor. Oh ya, aku mulai menekuni teater sejak kelas lima SD. Memutuskan untuk ber-story telling sejak tahun 1992 dan lulus dari IKJ jurusan teater tahun 1994. Sudah ada sekitar 600 kali mengadakan pertunjukan di berbagai tempat di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Pertunjukan dalam berbagai tema dan untuk berbagai kelompok penonton. Proses berkesenian yang paling berkesan buatku yaitu waktu aku membuat pertunjukan dalam rangka rekonsilisasi Hindu-Islam di Desa Sumber Klampok, Bali Barat.  Masyarakat Islam dan Hindu terpecah didorong oleh peristiwa 65. Di sana  aku main selama 4 jam, selesai pentasnya jam 2 pagi. Asyik sekali waktu itu karena sambil main ada yang kasih pisang, dan juga minuman.

Yang paling aku sukai tentu saja ketika melihat penonton senang. Tapi, yang paling nggak kusukai itu kalau habis maen honor tak langsung dikasih. He he…

Harapan atau mimpi katakanlah yang masih ingin kuwujudkan adalah mendirikan institut tukang cerita nusantara.


Source: Mengenal Lebih Dekat Sosok Agus Nur Amal a.k.a PMTOH

0 komentar:

Posting Komentar