Various random items with eye-catching colors immediately attracted visitors who entered the 3 meter by 4 meter white room at the Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD), which will run at the Grand Kemang Hotel in South Jakarta until Nov. 30.

Some of the visitors could be found marveling at the unique random items, which ranged from a water dipper, caping (traditional hat), a water bucket, a red cellphone, a scrap of photo used as wallpaper and fish to plastic toy tank.

"What is this?" asked one of the visitors, while another took a selfie with the items in the background.

Created by performance artist Agus Nur Amal or Agus PMTOH, the items are usually used in his solo show of Acehnese traditional storytelling as stage props.

"This time, I served as one of the artists that presented my work at the ICAD, which was initiated by the Yayasan Design+Art Indonesia Foundation," said Agus.

Agus said he had been utilizing daily items to convey a moral message to the public for years. In his hands, the objects become alive and assist him in making the audience laugh.

"I use these items as the construction base of my story that I consider to be quite communicative since each of them has morphed as required by the theme [of the story]," said Agus, adding that he wanted to broaden his audiences' imagination and lure them into exploring every simple or complicated story that he delivered.

This is the third time Agus has participated in an exhibition.

"The objects presented in this exhibition have their own stories as they were obtained in Aceh after the tsunami and became a story unto themselves. For instance, I got the colorful children's shoes and the doll head in Gampong Pande, a region in Aceh that was damaged the most by the tsunami."

The ninth installment of the ICAD, themed Kisah (Story), features more than 30 creative minds from all over the country. (kes)

Sourch: Acehnese performance artist shares stories at ICAD 2018


Ratusan orang melihat-lihat karya seni yang dipamerkan dalam ekshibisi JIWA:Jakarta Biennale 2017 di Hall B Gudang Sarinah Ekosistem, Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu sore (12/11/2017).

Ada yang betah berdiam--sesekali mengerutkan dahi atau bertopang dagu--di depan karya seni. Beberapa orang lainnya terpanggil merespons karya-karya yang butuh partisipasi audiens.

Sekitar pukul 16.00 WIB, kebanyakan dari mereka bergegas ke panggung pertunjukan di sisi timur Hall B Gudang Sarinah Ekosistem. Seorang pria berpostur kecil--tak lebih dari 160 sentimeter--tengah bersenandung di atas panggung.

Pria bertubuh kecil dengan mimik karikatural itu bernama Agus Nur Amal, atau lebih terkenal dengan epitel panggung, PM Toh. Ia merupakan seorang penutur hikayat (pendongeng) tradisional Aceh.

Sore itu, Agus mementaskan pertunjukan berjudul Jiwa Laut, yang terinspirasi karya-karya Hamzah Fansuri--sufi dan sastrawan asal Sumatra pada abad 16.

"Kisah ini terjadi di zaman dahulu kala, ketika hewan bisa bicara. Kita mulai kisah ini pada suatu senja, ketika matahari hendak tenggelam," ujarnya membuka pertunjukan, sembari mengangkat penutup ember berwarna merah sebagai metafora matahari.

Agus lalu mengisahkan perjalanan Hamzah Fansuri mencari ikan. Berhari-hari melaut, Hamzah tak berhasil menangkap ikan dan mesti bersemuka badai. Sekali dapat, Hamzah malah beri tangkapannya kepada elang laut yang juga sedang kesulitan mendapat ikan.

Pada pengujung cerita, Hamzah terkejut karena mendapati kerumunan elang laut menantinya di rumah. Elang-elang itu membawa banyak ikan sebagai balas budi.

Cerita itu sederhana, laiknya dongeng yang diakhiri epilog bernada "hidup bahagia selamanya". Namun, penampilan Agus melampaui kesederhanaan itu.

Agus cakap menampilkan seni hikayat Aceh dalam sajian kontemporer. Ia lengkapi ceritanya dengan video--tersaji lewat pantulan sinar proyektor--sebagai latar panggung.

Plus, sebagaimana ciri penampilannya, Agus membawa perkakas sehari-hari melintasi sekat-sekat fungsi dan arti, misal: loyang mandi bayi sebagai perahu; gagang sapu beralih fungsi jadi dayung; penutup ember diibaratkan matahari.

Di tangannya, benda-benda itu bisa merangsang imaji penonton. Anak-anak jadi serius mendengarkan dan sesekali tergelak. Penonton dewasa bisa spontan bertepuk tangan dan tertawa ketika Agus melempar punchline.

"Saya ingin mengembalikan 'Jiwa Laut'. Menurut Hamzah, mereka yang menantang laut adalah orang yang mengembara dalam jiwanya sendiri," kata pria berusia 48 itu saat kami berbincang usai pertunjukan.

Percakapan kami berlangsung dalam satu ruang pertemuan, di Hall A Gudang Sarinah Ekosistem. Sambil mengisap kretek dan merasai kopi tubruk, Agus menceritakan perjalanannya sebagai pendongeng.



Berkuliah di Cikini, berguru di Sigli

Sedari kecil, Agus gemar mendengar hikayat.

Seniman kelahiran Sabang, Aceh ini mengaku berbunga-bunga bila dapat ajakan pergi hajatan ke Aceh Besar--tempat kebanyakan keluarga besarnya tinggal. Kala itu, pertunjukan hikayat memang kerap jadi hiburan dalam hajatan.

Agus kecil juga sudah terlibat dalam teater selama bersekolah di Sabang--sejak SD sampai SMA. Saat tiba masa pendidikan tinggi, Agus ambil studi teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Cikini, Jakarta Pusat.

Niatnya menekuni seni hikayat muncul saat kuliah di IKJ (1988-1990). Saat itu, ia terpanggil kembali ke Aceh, setelah dapat kabar bahwa pelaku seni hikayat kian langka.

Lulus kuliah, ia menuju Sigli--lebih kurang 120 kilometer sebelah timur Banda Aceh--yang jadi tempat bermukim seorang aktor dan seniman hikayat, Teungku Haji Adnan.

Nama terakhir itulah yang menjadi guru bagi Agus, pada 1990-1991. "Saya ikut pertunjukan beliau keliling kampung. Memenuhi panggilan pentas, dari kawinan sampai acara pemerintah," ujarnya.

Bila tak ada pentas, Agus ikut mengurus kebun milik Adnan. Di sela aktivitas itu, ia berlatih menjadi seorang penutur hikayat.

"Kadang, saya disuruh bercerita di bawah pohon kelapa atau bicara dengan batu," kata Agus, mengenang prosesnya berlatih. "Bahkan, pernah disuruh cerita semalam suntuk dengan sabut kelapa."

Epitel PM Toh, yang melekat pada Agus, merupakan warisan Adnan. Nama itu diambil dari Perusahaan Motor Transport Ondernemer Hasan (PM TOH), perusahaan bus trayek Medan-Banda Aceh.

Alkisah, dalam pertunjukannya, Adnan sering meniru bunyi klakson PM TOH--seperti om telolet om pada masa kini. Karena kebiasaan itu, orang-orang memberi julukan PM Toh kepada Adnan.

Julukan itu lantas dipakai murid-murid Adnan sebagai nama panggung, sekaligus penghormatan kepada Sang Guru.

Selain dari Adnan, Agus beroleh inspirasi pertunjukan dari dunia bermain anak-anak.

Anak-anak, kata Agus, kerap berfantasi memainkan benda-benda--misal: sandal dijadikan perahu, mobil, atau motor. "Dari situ, saya berpikir untuk bereksperimen: dari seni hikayat yang bertutur menjadi seni hikayat yang imajinatif," ujar penerima lencana Anugerah Kebudayaan Indonesia 2015 itu.

Dalam dunia teater, menurut Agus, pertunjukannya masuk genre teater objek yang fokus memanfaatkan benda-benda dalam penceritaan.

Agus juga sempat menjadi pemateri dalam konferensi internasional teater objek pertama di Nottingham, Inggris (Desember 2011), yang diselenggarakan Objek Theater Network.

"Tapi dalam khazanah teater Indonesia, saya mungkin tidak diakui," katanya, beriring tawa.



Berhikayat sebagai ibadah

Selama 27 tahun mendongeng, Agus telah mementaskan hampir seribu pertunjukan.

Era 1990-an, di bawah rezim Orde Baru, ia cenderung mengambil tema sosial-politik, misal: Jenderal Puyer Bintang Tujuh, yang menyindir laku korup perwira tinggi militer; Hikayat Polisi dan Bandit, kisah satire perihal batasan moral penegak hukum dan para bandit.

Setelah reformasi, tema ceritanya bergeser. "Sekarang saya banyak membawakan cerita yang jarang diperhatikan orang, mengajak berpikir alternatif. Jiwa Laut yang saya pentaskan di Jakarta Biennale, contohnya," kata Agus.

Saat konflik Aceh, pengujung 1990-an, ia giat mementaskan karya yang menggugah kesadaran atas hak-hak masyarakat sipil. Baginya, konflik Aceh merupakan pertikaian antara orang-orang bersenjata: tentara Indonesia dan milisi Gerakan Aceh Merdeka.

"Di antara orang bersenjata, masyarakat sipil mestinya bisa bersuara, contoh, 'Kalau mau tembak-tembakan tolong jauh-jauh lah dari rumah kami'," katanya.

Kala tsunami menghantam Aceh (Desember 2004), Agus mengambil peran sebagai seniman dengan menampilkan pertunjukan keliling TV Eng Ong ke kamp-kamp pengungsian.

Pertunjukan itu berupa set televisi, yang dipakai untuk memancing audiens bercerita. Proses bercerita itu menjadi bagian dari trauma healing.

"Ini TV ecek-ecek. Pengungsi jadi berani. Saya ingat, seorang ibu yang bercerita, 'Suami saya baru tertembak beberapa pekan, dan tiba-tiba kena tsunami'," kenang Agus.



Tak cuman di dalam negeri, Agus juga tercatat pernah menggelar pentas di luar negeri. mulai dari negeri jiran macam Singapura dan Malaysia, hingga terbang jauh ke Eropa dan Amerika Serikat.

Salah satu pementasan yang berkesan, kata Agus, terjadi di gedung Schaubude, Berlin, Jerman. Mula-mula, Agus melantunkan senandung pembuka pertunjukan, tiba-tiba dari bangku penonton terdengar suara tawa anak kecil.

"Saya ulang, dia merespons. Akhirnya, saya berkolaborasi sama dia: awal, tengah, dan akhir," kata Agus. Ia juga minta penata lampu memberi cahaya pada anak tersebut. Agus kian terkejut karena partner kolaborasinya adalah seorang bayi 7 bulan.

Konon, Si Bayi sudah dengar musik klasik sejak dalam kandungan. Siap pertunjukan, Agus menghampiri ibu bayi itu. Ia meminta izin untuk mencium kaki bayi itu. "Saya bilang pada ibunya, 'Saya seperti Paus yang mencium kaki jemaatnya'," ujar Agus.

Pengalaman tampil di hampir seribu panggung tak lepas dari kebiasaannya menggelar pertunjukan keliling. Sikap itu sesuai kredo pertunjukannya, "Cerita untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja, dan untuk apa saja."

Agus memang tak pilih panggung. Lapangan kampung atau gedung teater taraf internasional, sama belaka di matanya. Bermain di depan orang kampung atau para penikmat seni, tiada beda baginya.

Dalam kacamatanya, berhikayat adalah ibadah. "Saya ingat pesan Teungku Haji Adnan. Seni itu bagian dari ibadah. Menyampaikan cerita adalah menyampaikan kebenaran, sesuatu yang bersifat keilahian," ujarnya.




Source: Agus PMTOH, pendongeng seribu pentas
Agus Nur Amal says he is dedicated to introducing the traditional spoken poetry form of Aceh to the younger generation.  (The Peak Photos/ Tunggul Wirajuda)


Storyteller Agus Nur Amal keeps his audience’s attention with everyday household items and provides a unique spin on them, much like a celebrity chef fixates viewers by simultaneously cooking and explaining their recipe of choice.

A specialist in the traditional epic poems of his native Aceh, known as hikayat, he brings the verses to life with the use of props.

“God created the sun to light up the universe, after which he created the planets and their moons,” Agus says as he retells the hikayat of how God created the universe.

He brandishes a yellow plastic plate, a metaphor that isn’t lost on his viewers.

“Aside from the moon, God also created the stars to light up the night sky, just as the sun lights up the sky in the daytime,” he goes on, using cans of Bintang beer to illustrate his point.

Agus’s grand scheme on creation is tangible, as he used gas canisters, balls and other items hung on clothes hangers to show how they orbit the sun.

His take on the Earth is just as imaginative, as shown by his use of conical bamboo rice containers to describe volcanoes.

Delivered in an Acehnese dialect that is offbeat and humorous, his improvised take on Creation leaves a profound impression.

The performance is part of “Hidangan Dari Langit” (“Food From the Skies”), a photography and multimedia exhibition based on Agus’s hikayat tales.

Currently hosted at the Ruangrupa gallery in Tebet, South Jakarta, “Hidangan Dari Langit” marks Agus’s 25-year anniversary in the hikayat business.

But the event is only the second of its kind for Agus, who held his first visual exhibition, “Jendela P.M. Toh” (“A Window on P.M. Toh”), as a tribute to his mentor and fellow Achenese Teungku Haji Adnan P.M. Toh in 2009.

“ ‘Hidangan Dari Langit’ sees Agus carry out a visual exploration of the items he uses [in hikayat] photos themed on the universe,” says Ruangrupa’s Leonhard Bartolomeus.

“The titles and photos are his way to ‘interact’ with the items he uses as stage props. Agus and [photographer] Deny [‘Tarzan’ Arivin] arranged the items in a certain way to fit within the context of verses, or suras, in the Koran.

“The use of photography is ideal because they not only form a visual interpretation of those prayers; their stillness is also an antithesis to the more dynamic world of the stage.”

The photographs “Al Hadid” (“Iron”) and “An Nahl” (“The Ant”) epitomize this approach.

Named after suras describing the benefits of iron ore and using the stars for navigation, respectively, the former gets its message across by portraying swirls of plastic bags within a green plastic basin, as if to describe the minerals as they’re found in the Earth’s bowels.

The red lights perhaps refer to the process of turning the ore into iron and steel.

The latter is simpler and more profound, with a toy catamaran perched on a blue plastic basin making its way between two Bintang beer cans.

“The items in ‘Hidangan Dari Langit’ are based on my observations or association with their themes,” Agus says.

“This has much to do with the items’ connotation and looks, as well as certain incidents or phenomenon. The term ‘Hidangan Dari Langit’ describes how God created the universe and everything in it, including minerals and other resources in the Earth, for our benefit.

“It also describes how reason and education are preeminent over morality in Islam, as they are the basis for the religion itself; after all, one of God’s first commandments is to read,” says Agus, whose use of props in his recital of hikayat was his mentor P.M. Toh’s most tangible legacy.

“The emphasis on morality instead of knowledge is due to the flawed practice and teaching [of Islam] when it was brought to Indonesia, as it emphasized spirituality and ritual, not reason or the practical side of the religion,” the artist goes on.

“This has spread to how we interact with one another and created an imbalance that led to the rise of radical groups.”

“Hidangan Dari Langit” is part of Agus’s efforts to preserve and continue the legacy of hikayat, which he has done by extending its repertoire to contemporary topics beyond its traditional subject matters like religion or the history of Aceh’s kingdoms.

He plans to pass the narrative along to future generations during the event by teaching a workshop for children.

Whether in photos or performance, Agus’s take on Hikayat is sure to leave a lasting impression.


Source: Storyteller Agus Nur Amal Explains the Essence of Life
Agus Nur Amal. (Foto: Beritagar.id)


Oleh: Hindra Setya Rini*

Sekitar awal bulan Agustus 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu pendongeng yang sudah tak asing lagi namanya di ranah seni pertunjukan Indonesia yaitu PM. TOH. Pria yang lahir dan besar di Aceh 40 tahun silam ini bernama asli Agus Nur Amal. Bang Agus, demikian biasanya beliau disapa, mengajak saya untuk ngobrol di galeri PM. TOH di Jl. Rawasari Selatan I No 6, Jakarta Pusat.

Galeri PM. TOH terkesan “ramai”, penuh dengan beragam properti pentas. Properti berukuran kecil sampai besar tersebar rapi memenuhi dinding ruang tengah yang didesain dengan warna-warna cerah menyala. Galeri ini sekaligus juga adalah rumah kontrakan yang dihuni oleh seniman dari berbagai kalangan: tari, teater, dan musik. Tak heran jika berkunjung ke galeri PM. TOH, kita akan disambut oleh sejumlah penghuni rumah yang ramah dan hangat.

Selama kurang lebih tiga jam PM. TOH bercerita dengan santai ihwal perjalanannya di dunia kesenian dan proses-proses kesenimanannya. Dari ceritanya, selain pentas-pentas story telling yang telah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, Bang Agus juga kerap memberikan workshop untuk anak-anak dan remaja. Menurutnya, pertunjukan solo performance (demikian bang Agus menyebutnya—pen) yang ia lakukan tidak dikhususkan untuk kalangan usia tertentu—meski dikenal sebagai pendongeng tidak lantas penontonnya melulu anak-anak. Semua kalangan bisa mengapresiasi karyanya; muda-tua, seniman dan bukan seniman, pegawai dan pekerja kantoran. Mereka semua adalah target penonton yang diharapkan dapat mengapresiasi karya pertunjukan PM. TOH.

Berikut ini beberapa kutipan obrolan bersama bang Agus yang menarik disimak sehubungan dengan proses kesenimanan dan pengalamannya memberi workshop:

Tepatnya kapan Bang Agus mulai memilih story teller sebagai profesi?
Sekitar tahun 1991. Sebelumnya kan aku kuliah di jurusan teater IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Setelah itu aku pulang ke Aceh. Di Aceh model pencerita itu banyak sekali. Jadi setelah aku pikir-pikir, ya kenapa aku nggak memilih story telling itu aja, mendongeng itu. Di kampungku sendiri sudah ada tradisi mendongeng. Ya sudah, aku belajar selama setahun di sana, lalu kembali lagi ke Jakarta tahun 92.

Itu awal mula PM. TOH ada, Bang?
Iya. PM. TOH sendiri adalah nama seorang tokoh tradisi yang ada di Aceh. Beliau pendongeng yang aku kagumi dan dengannnya aku ikut keliling kemana-mana, bantu beliau pentas sekaligus belajar juga. Itu kulakukan selama setahun. Nah, namanya kemudian aku pakai untuk nama panggungku. Beliau senang aja dan nggak keberatan. Tentang solo performance, ya itu lebih pada pilihanku untuk tidak berkelompok. Aku berpikir dengan PM. TOH aku lebih efektif, sederhana, dan murah. Aku nggak susah mikir bagaimana harus mengatur hal-hal sebagaimana kalau kita berkelompok. Dengan ini aku bisa pentas keliling sendiri atau berdua dengan Tedi (asisten sekaligus kru PM. TOH), dan hanya bawa properti yang diperlukan. Sederhana menurutku. Gampang aja ke mana-mana dan nggak repot ini-itu.

Ada bedanya nggak sih, Bang, gaya bertuturmu dengan para penutur tradisi di Aceh itu?
Iya, ada. Waktu itu para pencerita di sana nggak pakai properti. Ya bercerita aja. Hanya PM. TOH yang pakai properti, tapi nggak banyak. Jadi aku mengembangkan gaya PM. TOH itu. Aku tambah jenis propertinya. Ya bisa dilihat kan properti yang aku pakai ini, macam-macam. Plastik, kayu, kertas, barang bekas, perkakas dapur, dan lain-lain. Semua aku manfaatin dan bisa aku mainkan jadi matahari, mobil, gunung, laut, ikan hiu, dan lain sebagainya. Nah, soal cengkok yang biasa aku pakai itu, semua pendongeng di Aceh ya begitu. Berlagu. Tapi aku pakai yang paling dekat aja denganku: mengaji.  Ya aku pakailah cengkok mengaji dalam bertuturku.

Waktu itu bagaimana apresiasi para penutur tradisi atas bentuk yang Bang Agus bawakan?
Ya, apresiasinya bagus, mereka sangat mendukung. Sebagai anak muda saat itu, yang tua merasa senang karena seperti ada yang baru nih buat mereka. Dan memang sebelum balik ke Jakarta lagi, aku sempat mengundang mereka untuk kumintai pendapat. Aku juga ingin tau respon mereka. Tanggapan mereka positif, lalu aku mulai berkiprah di Jakarta. Tahun 1992 itu, sambutan di sini (Jakarta—pen) antusias sekali. Mereka—penonton Jakarta—merasa surprise. Mungkin ini bentuk yang segar buat mereka pada saat itu. Belum pernah ada kan sebelumnya? Ya sampai sekarang inilah ceritanya. Begitu…

Bisa cerita tentang proses pembuatan karya, atau workshop-workshop apa aja yang Bang Agus pernah lakukan?
Workshop sering juga. Kadang buat anak-anak, remaja juga pernah; anak SMA di Jakarta, anak-anak paska konflik dan paska gempa di Aceh juga. Tergantung tujuan kita mau ngasih workshop itu untuk apa sih. Barulah kita mulai mencari dari mana untuk memulai. Kalau isunya “panas” kadang butuh beberapa hari untuk bisa sampai pada topik yang akan kita diskusikan. Awalnya pasti aku ajak peserta main-main dulu, adakan permainan-permainan di awal. Lalu baru masuk ke pemetaan lingkungan sosial mereka. Ini perlu karena mereka sendiri harus paham kondisi dan permasalahan yang timbul sebelum sampai pada diskusinya. Dengan memetakan posisi masing-masing itu peserta workshop akan sadar dengan sendirinya dan tau di mana bermulanya persoalan.

Salah satu contohnya, Bang?
Dulu aku punya lembaga yang aku dirikan selama sekitar tiga-empat tahun. Programnya menangani tawuran anak-anak SMA di Jakarta. Ada sekitar 300 sekolah kita masuki. Sekarang sudah selesai proyek itu. Nah, ya seperti yang aku bilang tadi, aku mengajak mereka menggambar peta lingkungan sosial mereka. Tentu aja setelah kita kasih permainan-permainan yang membuat mereka lupa pada fokus tawurannya itu dulu. Caranya, aku minta mereka menggambar letak rumah mereka di dinding kelas. Aku tanya mereka tinggal di mana. Di Manggarai, misalnya. Lalu mereka nempelin gambar rumah mereka tapi jaraknya jauh-jauh. Padahal kan itu lokasinya sempit dan rumah penduduk  berdekatan. Aku tanya lagi ke mereka, kok jauh-jauh letaknya? Mereka komplain karena mereka nggak suka dekat-dekat, bising dan sumpek. Nah, dari situ kita masuk diskusi tentang kondisi pemukiman yang padat, yang menyebabkan nggak ada rasa nyaman pribadi. Hawanya marah, curiga dan merasa ada musuh. Lalu satu kampung dengan yang lain merasa ada musuh. Lalu ketemu di jalan, naik satu bus sekolah yang di dalamnya ada rasa saling curiga. Ya diskusi terus bergulir sampai mereka tau duduk perkaranya. Itu kita datangi tiap sekolah lalu dipertemukan di akhir. Ya nggak mudah juga sih, tapi itu berhasil kita lakukan.

Sama juga seperti yang di Aceh. Workshop buat anak paska konflik itu ya sama metode yang aku berikan. Intinya, aku selalu mengajak mereka menggambar situasi sosial mereka dulu sebelum masuk ke isu yang mau dibahas. Lalu terakhir kita memetakan bersama persoalannya, juga solusinya. Dan biasanya di hari-hari terakhir baru cerita-cerita personal biasanya muncul. Terserah kita cerita-cerita mau dibawa ke mana, bisa ke bentuk presentasi tertentu jika memang dibutuhkan. Kemudian anak-anak itu bisa mengekspresikan diri mereka ke hal yang positif. Sebelumnya kan mereka mungkin nggak tau caranya mengeluarkan emosi-emosi mereka itu. Ini salah satu cara aja yang bisa membantu mereka keluar dari situasinya.

Kalau yang proses pertunjukan, Bang?
Oh, ya, masih di Aceh juga nih ceritanya. Paska konflik dan bencana dulu itu, kita bikin pertunjukan keliling. Namanya P.TV. Ini pentas keliling pakai truk mini. Itu kan konsepnya tv, tv main-main, jadi membawa imajinasi orang. Pada tontonan itu seolah-olah kita berada dalam studiolah. Ada reporternya, penyiar tv,  ada acara juga di dalam. Yang main anak-anak kampong yang kita kunjungi. Ada yang main tinju, macam-macamlah. Kita buat aja urutan acaranya. Yang pertama misalnya berita kampung. Terserah mereka mau nulis, terus dibacain. Lalu itu memancing orang-orang untuk rela masuk ke tv. Biasanya ibu-ibu yang mau masuk ke dalam. Kalau di panggung belum tentu orang rela untuk ikut main. Jadi dengan tv ada kesadaran orang untuk main-main. Kalau istrinya masuk, suaminya gak malu. Rela gitu… beda kalau dibuat panggung beneran, mereka malah nggak mau main. Di Aceh, ini cukup berhasil membuat mereka mengungkapkan problem-problem yang terjadi paska konflik. Bahkan interaksi sesama masyarakatnya berlangsung baik. Padahal ini isu yang sensitif namun berhasil diungkap dengan cair dan komunikatif.

* Hindra Setya Rini, reporter skAnA, aktor Teater Garasi

(terbit di skAnA volume 11, Januari-Mei 2010)



Profil Singkat PMTOH

Nama lengkap: Agus NurAmal.

Lahir di Sabang/Aceh 17 Agustus 1969.

Jalan kaki hobiku, ikan tongkol sembelado makanan kesukaanku. Film favorit: Gone with The Wind. Pengalaman paling mengesankan waktu  lagi e-ek di bandara Zurich, dipanggil namaku lewat information center tapi namanya lagi e ek ya aku cuekin. Akhirnya aku lari ke pesawat dan hanya aku seorang yang ditunggu. He he…

Tokoh seniman yang kukagumi namanya Udin Pelor. Oh ya, aku mulai menekuni teater sejak kelas lima SD. Memutuskan untuk ber-story telling sejak tahun 1992 dan lulus dari IKJ jurusan teater tahun 1994. Sudah ada sekitar 600 kali mengadakan pertunjukan di berbagai tempat di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Pertunjukan dalam berbagai tema dan untuk berbagai kelompok penonton. Proses berkesenian yang paling berkesan buatku yaitu waktu aku membuat pertunjukan dalam rangka rekonsilisasi Hindu-Islam di Desa Sumber Klampok, Bali Barat.  Masyarakat Islam dan Hindu terpecah didorong oleh peristiwa 65. Di sana  aku main selama 4 jam, selesai pentasnya jam 2 pagi. Asyik sekali waktu itu karena sambil main ada yang kasih pisang, dan juga minuman.

Yang paling aku sukai tentu saja ketika melihat penonton senang. Tapi, yang paling nggak kusukai itu kalau habis maen honor tak langsung dikasih. He he…

Harapan atau mimpi katakanlah yang masih ingin kuwujudkan adalah mendirikan institut tukang cerita nusantara.


Source: Mengenal Lebih Dekat Sosok Agus Nur Amal a.k.a PMTOH